Illustrasi: Herra Frimawati |
Di tengah viralnya video
yang diunggah oleh komika Bintang Emon tentang ringannya hukuman bagi tersangka
kasus penyiraman Novel baswedan, Emon harus menerima ulah para buzzer yang
menuduhnya mengkonsumsi narkotika. Benarkah itu?
Bintang emon diserang buzzer.
Sejumlah akun anonim di media sosial menuduh komedian yang tengah naik daun itu
mengonsumsi narkotika jenis sabu. Bintang langsung menepisnya. Ia menunjukkan
hasil tes urin yang negatif.
Banyak pihak menduga aksi buzzer ini terkait dengan video Bintang
viral beberapa hari sebelumnya. Dalam video berdurasi 1 menit 42 detik itu,
Bintang menyindir penanganan kasus penganiayaan penyidik KPK Novel Baswedan. Ia
menyampaikan kritik pedas lewat lewat komedi segar dan celetukan miliknya yang
khas.
Executive Director Southeast Asia Freedom of Expression Network
(SAFEnet) Damar Juniarto menduga Bintang
Emon menjadi sasaran dari buzzer karena ia berani mengungkapkan pendapatnya
secara kritis. Insiden ini jadi bentuk pembungkaman terhadap kebebasan
berpendapat.
Buzzer bekerja tanpa identitas di dunia maya. Sebagian besar hanya
berupa bot yang dioperasikan seseorang demi tujuan tertentu. Peneliti Centre
for Innovation Policy and Governance (CIPG) Klara Esti menuturkan jasa buzzer
jamak digunakan oleh perusahaan, partai politik, maupun tokoh publik. Buzzer
beroperasi dengan mengusung ideologi dan motif tertentu baik secara ekonomi
maupun politik.
Untungnya, Bintang Emon menanggapinya dengan santai. Dalam wawancara
dengan Deddy Corbuzier yang dipublikasikan pada 16 Juni 2020, Bintang lagi-lagi
menanggapinya dengan komedi. Ia mengaku tidak tahu seperti apa rasa sabu.
“Takutnya emang ada gue makan donat, harusnya gula halus ternyata
sabu”, ujarnya.
Kendati demikian, Bintang lantas pergi rumah sakit untuk melakukan
pemeriksaan. Ia pun harus menggelontorkan Rp1,6 juta demi selembar kertas
keterangan bebas narkoba dari tenaga medis.
Bukan hal baru.
Buzzer sudah jadi hal biasa di Indonesia. Peneliti Center for
Innovation Policy and Governance (CIPG) jasa buzzer dimanfaatkan oleh
perusahaan, partai politik, atau tokoh publik. Tugasnya menggiring isu tertentu
di media sosial. Mereka bisa saja bekerja dalam kelompok atau secara individu.
Perusahaan biasanya menggunakan jasa buzzer untuk mempromosikan produk
tertentu. Sementara partai dan tokoh politik lebih berorientasi pada
penggiringan isu atau membangun citra diri.
Sebelum Bintang, beberapa orang juga sempat kena ulah para buzzer.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengaku pernah diganggu buzzer ketika
mengkritik pemerintah lewat akun twitternya.
“Saya pernah nge-tweet baru-baru ini, padahal tweet-nya biasa aja,”
ujarnya.
Gerombolan buzzer lantas menyerang Refly. Mereka mengulas kehidupan
pribadinya sampai menerbitkan artikel panjang tentang dirinya. Lain waktu, Tompi juga pernah ‘dikerjai’ buzzer. Ini bermula
ketika sang musisi curhat soal tagihan PLN yang membengkak lewat akun Twitter
pada 10 Juni 2020. Tompi yang aktif mendukung Jokowi-Ma'ruf saat Pemilu
dituding sakit hati karena tidak dapat jatah jabatan.
Serangan buzzer menunjukkan ketidakdewasaan kita dalam berdemokrasi.
Publik yang ingin mengemukakan berpendapat masih dihalangi lewat serangkaian ulah
bot-bot anonim di dunia maya.
Dokumen bertajuk ‘The Global Disinformation Order
2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation’ yang diterbitkan Universitas Oxford mengulas
fenomena buzzer di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Dalam penelitian yang
ditulis oleh Samantha Bradshaw dan Philip M. Howard, disebutkan dalam dua tahun
terakhir propaganda terorganisir lewat sosial media telah meningkat hingga
150%.
Aksi ini ditujukan untuk menekan hak-hak asasi manusia, mendiskreditkan lawan
politik hingga meniadakan perbedaan pendapat. Meskipun buzzer beroperasi di
hampir semua media sosial, Facebook masih jadi ladang favorit. Laporan itu juga
menyebut di Indonesia, pihak yang paling sering memanfaatkan jasa buzzer adalah
partai politik dan agensi privat.
Sebagai salah satu pengguna media sosial terbesar di dunia, Indonesia
jadi ladang menggiurkan para buzzer. Riset We Are Social yang dirilis pada Januari 2019 menyebutkan
pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau 56% dari total
populasi.
Kabag Penum Polri Kombes Asep Adi Saputra menuturkan buzzer tidak bisa dipenjara selama
itu positif. Namun jika buzzer melakukan hal yang negatif seperti menyebar hoax
dan ujaran kebencian, akan dikenakan pidana hukum. Mereka bisa dipidana dengan
UU ITE.
Kasus yang tengah dialami oleh Bintang Emon menunjukkan bahwa para
buzzer tidak hanya melakukan pekerjaan yang positif saja, tetapi sudah sampai
memfitnah. Mereka telah menggiring opini publik agar melupakan kasus penyiraman
mantan KPK Novel Baswedan.
Media sosial menjadi sumber berita sekaligus penggiring opini
masyarakat. Tidak hanya penyedia informasi yang harus berhati-hati dalam
menyampaikan informasinya, tetapi juga kepada penerima informasi. Masyarakat
harus lebih hati-hati dalam memilah informasi, bisa jadi itu adalah pekerjaan
para buzzer yang belum tentu kebenarannya.
Tulisan ini sudah terbit di Haluan.co