Mungkinkah Gajah dan Manusia Hidup Berdampingan?



Illustrator: Hera Frimawati


PERBURUAN liar dan kerusakan habitat jadi penyebab utama konflik manusia dan gajah. Di Indonesia, kerusakan habitat membuat populasi gajah merosot drastis di banyak lokasi.


Kematian seekor gajah di Kerala Utara, India menyisakan gelombang protes besar-besaran. Hewan malang itu tewas setelah menyantap nanas yang berisi peledak. Saat ditemukan, ia tengah berdiri kaku di sungai dengan luka menganga di mulut.

Penyelidikan lebih lanjut mengungkapkan nanas berpeledak tersebut biasa digunakan warga untuk mengusir babi hutan yang menjadi hama perkebunan. Nahas, justru gajahlah yang jadi korban. Polisi India kemudian menangkap sejumlah orang atas kasus tersebut.

Kasus ini mengingatkan kita pada rentetan kasus serupa di Indonesia. Gajah diburu untuk diambil gadingnya yang memiliki nilai jual tinggi. Selain itu, dalam beberapa kasus gajah juga menjadi korban konflik tak berkesudahan antara masyarakat lokal dengan mamalia besar tersebut.

Pada 2013, seekor gajah bernama Genk ditemukan tewas terjerat tombak kayu di Aceh. Para pembunuhnya kemudian mengambil gading gajah malang itu. Di Lampung, gajah patroli bernama Yongki ditemukan tewas dengan kondisi tanpa gading. Yongki diduga diracuni oleh pemburu liar. Yongki dikenal sebagai gajah yang telah menengahi konflik untuk menghalau gajah-gajah liar masuk ke desa.

Pemburu juga semakin berani. Tidak hanya gajah liar yang mereka incar, tetapi juga gajah yang jinak. Pada 2018, seekor gajah jinak bernama Bunta tewas dibunuh di Lokop, Aceh. Padahal, Bunta berjasa besar membantu Balai Konservasi Sumber daya Alam (BKSDA) Aceh dalam menggiring gajah liar yang berkonflik di berbagai tempat.

Gajah yang jinak tentu lebih mudah ditangkap daripada gajah liar. Mereka lebih gampang didekati dan diikat. BKSDA sendiri sampai menawarkan hadiah sebesar Rp 30,5 juta bagi siapapun yang bisa memberi informasi mengenai pembunuh Bunta.


Hilangnya habitat

Perburuan liar dan serangkaian konflik dengan masyarakat membuat populasi gajah terus merosot dari tahun ke tahun. Pada 1980 populasi gajah di Indonesia sekitar 2.800–4.800 ekor. Jumlah itu anjlok hingga setengahnya di kisaran 1.694–2.038 individu. Gajah-gajah yang tersisa tersebar di tujuh provinsi; Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung.

Eksploitasi sumber daya yang berlebihan memicu kerusakan habitat gajah. Alih fungsi hutan menjadi wilayah perkebunan membuat hidup gajah makin terdesak sehingga mau tidak mau mereka merangsek ke perkebunan.

Provinsi Riau merupakan salah satu pusat sebaran gajah di Sumatra. Di sana terdapat sembilan kantong habitat gajah, termasuk tiga yang utama yakni Tesso Nilo, Balai Raja-Giam Siak Kecil, dan Serangge. Namun, dalam periode 25 tahun terakhir, provinsi terbesar di Sumatera ini juga mengalami laju kehilangan hutan yang sangat cepat. Sekitar 70% habitatnya hilang atau rusak hanya dalam satu generasi sejak 1985. Sebanyak 23 kantong populasi gajah pun mengalami kepunahan lokal pada periode tersebut.

Habitat hutan yang menyusut membuat ketersediaan makanan gajah semakin terbatas.  Gajah adalah hewan yang selalu berpindah pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan akan makanannya. Jika gajah tidak bisa menemukan makanan untuk mencukupi kebutuhannya maka gajah akan mencarinya hingga keluar dari habitatnya.

Tidak heran banyak kejadian di mana gajah masuk ke perkebunan dan warga dan menyantap hasil kebun. Gajah membutuhkan 200-300 kg/hari sedangkan kebutuhan air minumnya sekitar 200 liter/hari.

Di Aceh, frekuensi konflik gajah dan masyarakat kian meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Catatan BKSDA Aceh menunjukkan pada 2016 tercatat ada 39 konflik satwa bertubuh besar itu dengan manusia. Kemudian 2017 terdapat 103 kali konflik, dan sempat turun di 2018 menjadi 73 konflik, hingga akhirnya naik menjadi 107 konflik pada 2019. Selama rentang 2016 hingga 2020 terdapat 38 ekor gajah mati, dan penyebabnya 74% karena konflik, 14% karena perburuan, dan 12% mati alami

Warga setempat biasanya menggunakan petasan atau meriam karbit untuk menakut-nakuti gajah yang mendekat. Cara ini cukup efektif untuk mengusir gajah agar tidak merusak perkebunan. Teknik petasan kembang api jauh lebih aman dan efektif digunakan untuk mengusir gajah dari jarak jauh. Sedangkan jeduman atau meriam karbit adalah teknik penghalauan gajah yang dilakukan masyarakat secara bersama sama antara 3-20 orang pada saat sebelum dan saat gajah masuk lahan pertanian warga.

Metode menempatkan peledak ke dalam buah-buahan seperti yang dipraktikkan di India sangat tidak disarankan. Metode ini berbahaya bagi satwa liar karena buah-buahan itu bisa saja disantap hewan yang dilindungi. Berdampingan hidup dengan gajah bukan hal yang mustahil dilakukan. Sebab pada dasarnya, gajah tidak akan mengganggu manusia jika habitatnya juga tidak diganggu.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال