Riset Universitas Indonesia 2018 menunjukkan 95% mitra Go-Life yakin bisa membiayai keluarga lewat kemitraan dengan Gojek. Ketika perusahaan memutuskan menutup layanan Go-Life per 27 Juli 2020, para mitra kelimpungan mencari jalan untuk bertahan.
Syahroni Muharnafis (33) sudah menghabiskan setengah dari
hidupnya menjadi terapis pijat. Dua tahun terakhir, ia bergabung mendapat
sertifikasi trainer dan bergabung dengan GoLife. Aplikasi ini sangat membantu
dirinya bertahan. Ia bisa dapat panggilan 4-5 kali per hari di masa sebelum
pandemi. Belakangan, Roni tak punya pekerjaan lain.
Ia sempat berjualan masker demi memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Itupun tidak bertahan lama. Persaingan yang semakin ketat
sementara keuntungannya tidak seberapa. “Ini saya bingung mau usaha apalagi,”
ceritanya kepada Haluan.co.
Roni punya seorang istri dan tiga orang anak. Dua orang
masih bersekolah di tingkat SMP, sementara si bungsu kelas 3 SD. Kabar
penutupan GoLife bikin persoalan hidupnya makin runyam. “Tadinya saya kira di
masa new normal ini bisa mulai bekerja lagi,” ia menambahkan.
Hal senada diungkapkan Saskia Novrstra (25) yang setahun
terakhir menjadi terapis di GoLife. Biasanya ada 3-5 lima panggilan dalam
sehari, tetapi sejak Covid-19 melanda tak satupun yang menggunakan jasanya.
“Saya menanggung kebutuhan adik-adik saya yang masih. Belum lagi tanggungan
cicilan motor,” keluhnya.
Seperti Roni, Saskia juga mencoba berjualan masker. Kini ia
cuma bisa meratapi nasib seiring dengan keputusan GoJek menutup layanan GoLife.
Ia mendapatkan kompensasi Rp600.000 dari perusahaan.
Keputusan Gojek menutup layanan GoLife sebenarnya agak
mengejutkan. Riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Budaya Universitas
Indonesia mengklaim perusahaan ini berkontribusi Rp44,2 triliun terhadap perekonomian
nasional pada 2018. Ini dengan asumsi hanya 75% mitra aktif. Layanan Go-Ride
memang paling besar kontribusinya, sekitar Rp16,5 triliun. Sementara Go-Life
(Go-clean dan Go-massage) menyumbang Rp1,2 triliun.
Riset yang dilakukan dengan metode pencuplikan acak
sederhana terhadap 6.732 mitra Gojek ini juga mengungkap temuan menarik
lainnya. Mitra Go-Life menggantungkan harapan tinggi terhadap perusahaan.
Sebanyak 95% responden menyatakan yakin bisa menghidupi keluarga mereka dengan
layak lewat kemitraan ini. Tingkat kepercayaan ini lebih tinggi ketimbang mitra
lain seperti Go-Ride (87%) dan Go-Car (92%).
Harapan yang terlalu tinggi terbukti bisa sangat
menyakitkan. Keputusan Gojek menutup Go-Life membuat para mitra kelimpungan.
Apalagi 70% mitra Go-Life merupakan perempuan, sementara 50% dari mereka
menjadi penghasil utama di keluarganya.
Rencana penutupan GoLife sebenarnya bukan kabar baru. Sejak
Desember 2019, manajemen Gojek sudah mewartakan bakal menutup layanan ini.
Namun, kala itu GoMassage dan GoClean masih di taraf aman. GoGlam, GoLaundry
dan GoFix dipastikan tidak lagi beroperasi.
Pandemi membuat layanan GoClean dan GoMassage juga terkena
imbasnya. “Penurunan aktivitas masyarakat sangat drastis karena harus berada di
rumah dan menjaga jarak (physical distancing) untuk mencegah penularan yang
masih terus meningkat,” ujar Co-CEO Gojek Andre Sulistya.
Gojek pun merumahkan 430 karyawan--setara dengan 9% dari
total pegawai--atas kebijakan ini. Lebih dari itu, ratusan mitra GoLife lainnya
juga terdampak imbasnya.
Mimpi jadi
super app
Sejak pertama kali didirikan, Gojek langsung meroket sebagai
salah satu startup paling sukses di Indonesia. Pada April 2019, Gojek resmi
decacorn pertama di Tanah Air. Ini sebutan bagi perusahaan rintisan yang punya
valuasi lebih dari US$10 miliar. Gojek juga sudah melebarkan kepak bisnisnya ke
sejumlah negara di Asia Tenggara. Mulai dari Singapura sampai Vietnam.
Valuasi Gojek diperkirakan bakal meningkat sebab perusahaan
ini sedang mengejar target pendanaan seri F sejak akhir tahun lalu. Hingga awal
Juni 2020, Gojek berhasil mengantongi US$3 miliar dari putaran pendanaan kali
ini.
Gojek juga gembar-gembor ingin jadi super app. Artinya, pengguna bisa menemukan
banyak layanan hanya lewat satu aplikasi di Gojek. Pandemi memaksa Gojek
mengevaluasi ulang mimpinya itu. Lembaga riset Fitch Solution bahkan
memprediksi kebijakan pengetatan produk bisa saja berlanjut. “Tekanan yang
berkelanjutan dapat memaksa kedua perusahaan [Grab dan Gojek] untuk lebih jauh
mengurangi dan mengatur kembali bisnis mereka,” tulis Fitch Solution dalam risetnya.
Ada beberapa faktor yang membuat perusahaan sebesar Gojek
kelimpungan menghadapi pandemi. Meski tumbuh signifikan, Gojek belum meraup
untung hingga 2019. Diskon dan subsidi besar-besaran yang diberikan kepada
pelanggan membuat ongkos usaha Gojek sangat besar.
“Loyalitas pelanggan terbukti sangat sulit diraih,” tambah
Fitch Solutions.
Sebagai perusahaan dengan valuasi luar biasa besar, Gojek
nampaknya gagal menjaga keberlanjutan bisnisnya. Mitra GoLife yang sebelumnya
menggantungkan harapan tinggi kini hanya bisa gigit jari.