Memperbaiki Bumi atau Pindah ke Mars?

Profesor Jean-Marc Salotti dari Institut Nasional Politeknik Bordeaux Perancis menghitung jumlah koloni yang diperlukan agar manusia bisa bertahan hidup di Mars. Hasilnya, setidaknya diperlukan 110 orang agar kita bisa mengkoloni planet itu.

Ide bermigrasi ke luar bumi sebenarnya sudah dirancang sejak lama. Namun, Lembaga Antariksa Amerika Serikat (NASA) memprediksi baru pada 2035 kita bisa mendaratkan astronot ke Mars. NASA rutin melakukan serangkaian uji coba untuk menguji teknologi dan kesiapan rencana ini.

Ide ini muncul dari kekhawatiran soal kondisi bumi yang lambat laun semakin kesulitan menopang populasi. Serangkaian perubahan iklim dan pemanasan global tengah berlangsung. Dalam jangka menengah dan panjang, ini akan mengancam kehidupan di muka bumi.

Persoalan yang kasat mata misalnya kebakaran hutan. Tahun lalu, hampir 900.000 hektar kebakaran lahan terjadi di Indonesia setidaknya hingga September 2019.  Ini terdiri dari 630.451 hektar lahan mineral dan 227.304 hektar di gambut.

Kebakaran di Australia tahun 2019 menjadi perhatian dunia. Kebakaran tersebut merupakan kebakaran terparah sepanjang sejarah Australia. Penyebab kebakaran ini tak lain adalah karena suhu panas yang tinggi dan kekeringan. Perubahan suhu menjadikan kondisinya menjadi sangat buruk.

Belum lagi ancaman bencana besar seperti tabrakan asteroid yang bisa saja terjadi dan menghancurkan kehidupan di planet tempat kita tinggal. Wartawan Amerika Stephen Petranek menulis sebuah buku yang berjudul “How We’ll Live on Mars’. Ia berargumen migrasi ke Mars jadi sebuah kebutuhan di masa mendatang. Jika ada asteroid raksasa yang menabrak bumi, seperti yang pernah terjadi di era dinosaurus, opsi migrasi bukan lagi sebuah pilihan tetapi kewajiban.

Walaupun bumi tidak dalam kondisi yang baik, apakah pindah ke planet Mars adalah jalan keluar yang terbaik? Pandemi COVID-19 walaupun sangat menakutkan bagi manusia, ternyata secara tidak langsung berdampak positif bagi lingkungan. Udara dan sungai menjadi lebih bersih.

Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) menyatakan bahwa CO2 di Cina sejak 3 Februari sampai 1 Maret turun sekitar 25%. Sementara itu, Lalu lintas kapal di Belgia yang sepi juga berdampak positif. Sungai menjadi lebih bersih, karena selama ini kapal dan wisatawan banyak yang mencemari sungai.

Kondisi bumi memang sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Tetapi belum dapat dipastikan akan selalu seperti itu. Setelah pandemi berakhir, kita tidak dapat memastikan kegiatan manusia setelah pandemi masih sama seperti ketika pandemi melanda.



Better normal bisa menjadi solusi menjaga bumi setelah pandemi. Mengatur ulang kehidupan setelah pandemi dengan membiasakan menjaga lingkungan. Membiasakan membuang sampah pada tempatnya, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan masih banyak lagi kegiatan mencintai bumi lainnya yang harus mulai kita atur kembali.

Di sisi lain, program migrasi ke Mars telah menyedot dana yang sangat besar. Dana yang digunakan untuk mengembalikan astronot ke bumi saja mencapai US$20 miliar hingga US$30  miliar atau sekitar Rp286 triliun sampai Rp430 triliun

Jumlah yang fantastis itu, jika digunakan untuk menahan laju perubahan iklim atau mengentaskan kemiskinan tentu akan sangat berarti. Kerusakan lingkungan berkaitan erat dengan tingkat kemiskinan masyarakat. Menggunakan dana tersebut untuk pendidikan juga tentu akan lebih baik.

Pindah ke Mars bisa menjadi solusi untuk kelangsungan manusia. Tetapi tidakkah kita berpikir bahwa alam yang rusak tidak lain akibat ulah kita sendiri. Pandemi COVID-19 menjadi salah satu bukti bahwa bumi butuh dirawat. Kontribusi dari semua pihak untuk menjaga bumi tetap baik setelahnya. Meninggalkan bumi yang rusak karena ulah kita adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab!

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال