Illustrasi: Herra Frimawati |
Pandemi COVID-19 yang belum juga usai di Indonesia membuat tingkat kecemasan masyarakat meningkat. Pemerintah menghimbau masyarakat untuk tetap #dirumahsaja demi menekan laju penyebaran virus. Tidak hanya itu, pemerintah juga menghimbau masyarakatnya untuk melakukan physical distancing hingga memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar bertahap di seluruh provinsi di Indonesia.
Selain COVID-19, ada ancaman lain yang menyerang
masyarakat, yaitu potensi gangguan kesehatan mental. Kecemasan yang berlebihan karena
terus menerus tinggal di rumah tanpa bisa keluar, dapat menyebabkan
terganggunya kejiwaan seseorang. Akibatnya dari ketakutan tersebut munculnya
gejala psikosomatis.
Apa itu psikosomatis?
Gangguan psikosomatis adalah penyakit yang melibatkan pikiran dan tubuh, sederhananya
pikiran memengaruhi tubuh hingga penyakit kemudian muncul atau penyakit yang
telah ada menjadi bertambah parah. Selama pandemi, isolasi membuat kondisi
mental seseorang tidak stabil. Hal tersebut juga diperburuk dengan minimnya
interaksi, ketenangan batin, dan gangguan faktor eksternal seperti buruknya
relasi dengan orang sekitar atau punya beban tulang punggung keluarga. Kecemasan
yang berlebihan juga membuat kita jadi paranoid, sehingga membuat kita
merasakan gejala dari penyakit seperti flu, sesak nafas, dan demam, lantas
mencurigainya sebagai gejala COVID-19, padahal bisa jadi hanya demam biasa.
Penerapan pembatasan sosial juga memiliki efek
buruk kepada mental kita jika dilakukan terus menerus. Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) mengatakan bahawa pandemi ini beresiko memunculkan
gangguan mental, terutama pada penyintas dan petugas kesehatan. Mungkin bagi
mereka terserang depresi, kecemasan dan gangguan stress pasca-trauma.
Pembatasan sosial juga
membuat kita merasa kesepian sehingga rentan terkena penyakit, mulai
dari depresi, penyakit jantung. Pembatasan sosial menghambat aktivitas rutin
yang dilakukan seseorang, sehingga menyebabkan banyak masyarakat merasakan kelelahan. Bagi kelompok yang lebih
tua, hal ini juga beresiko penurunan kognitif yang mengakibatkan mereka mudah
cemas, marah dan gelisah.
Dalam laporan yang disusun oleh Vox, seorang warga Amerika Serikat. Austin Hollinger
telah mengalami depresi dan gangguan stress pasca-trauma selama beberapa tahun,
sejak dia diintimidasi di sekolah. Sekarang laki-laki berusia 19 tahun ini,
mengandalkan teman-temannya untuk membantunya merasa lebih baik dari hari
kehari.
Isolasi membuat banyak masyarakat berurusan
dengan ketidakpastian kapan dan bagaimana pandemi akan berakhir, ketakutan akan
terinfeksi, krisis ekonomi yang telah menyebabkan jutaan orang di Indonesia
kehilangan pekerjaan, dan penanganan yang tidak jelas dari pemerintah kita
membuat bingung banyak pihak. Seperti larangan mengambil penumpang bagi ojek
online, pihak Kemenhub dan Kemenkes saling bertolak belakang.
Masih dari laporan Vox, Lisa Meredith, seorang
ilmuwan perilaku senior di Think Thank Rand Corporation mengatakan bahwa banyak
masyarakat yang khawatir akan perubahan yang disebabkan oleh pandemi COVID-19
akan menyebabkan lonjakan masalah kesehatan mental yang bisa bertahan lama
setelah Corona berakhir. Sebelumnya kasus serupa pernah terjadi usai Badai
Katrina menghantam Amerika. "Ini tidak hanya selama masa bencana
terjadi," katanya. "Orang-orang akan stres setelahnya."
Arash Javanbakht, seorang spesialis trauma dan
asisten profesor psikiatri di Universitas Wayne juga mengatakan bahwa krisis
saat ini sangat menekan bagi semua orang, orang-orang yang sudah memiliki
kondisi seperti kecemasan atau depresi mungkin sangat berisiko, kata para
psikolog.
Bagaimana cara mengatasai
gangguan mental di saat wabah?
WHO menyarankan beberapa langkah untuk
meminimalisir kecemasan yang mempengaruhi mental yaitu dengan mengurangi
paparan berita COVID-19 sebisa mungkin. Kedua buat jadwal rutin aktivitas yang
harus dikerjakan di rumah, atau lakukan hal baru yang menyenangkan seperti
bernyanyi dan melukis.
Di Indonesia, dalam situasi darurat seperti ini
membuat tim satgas COVID-19 Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Jaya dan
Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Jakarta membuat layanan konsultasi daring secara
gratis.
Anna Surti Ariani, ketua Ikatan Psikolog Klinis
mengatakan bahwa sampai pada tanggal 30 Maret 2020, sudah terdaftar 180 pasien
yang nantinya akan mendapatkan layanan konseling sekitar 45 menit. Setiap hari
akan ada 25 psikolog untuk menangani 70 pasien. Jika anda