Impulsive Buying dan Kecerdasan Emosional, Apakah Berkaitan?



JEMPOL kita mungkin gatal berbelanja online selama pandemi. Mulai dari kebutuhan sehari-hari sampai barang-barang kurang penting yang dibeli tanpa perencanaan. Jika tidak dikontrol, bukan tidak mungkin keuangan kita akan jebol.

Putra Metri Swazo (24) sudah tidak asing lagi dengan belanja online. Biasanya, mahasiswa Universitas Andalas ini belanja pakaian atau sepatu. Semenjak pandemi, daftar barang yang dibelinya semakin panjang. “Saya sekarang lebih sering beli perlengkapan menjahit seperti kain dan benang,” ujar pria yang akrab disapa Azo ini.

Perlengkapan menjahit memang bukan daftar belanjaan yang lazim. Namun, Azo membeli bukan untuk dirinya sendiri. Ia membantu ibunya yang berprofesi sebagai tukang jahit di Kota Padang, Sumatera Barat. Biasanya, ibu Azo berbelanja di Pasar Raya Padang yang kini jadi klaster penularan Covid-19 di kota itu.


Kendati membantu memasok kebutuhan selama pandemi, belanja online tidak sepenuhnya ideal. Menurut Azo, perlengkapan menjahit yang dibelinya online lebih mahal ketimbang harga di pasar. Belum lagi ongkos kirimnya yang juga cukup besar. “Memang sangat berdampak ke keuangan kami. Terpaksa ibu menaikkan ongkos menjahit,” ceritanya.

Di masa pandemi, masyarakat tak punya pilihan selain mengandalkan situs belanja online. Sebagian besar pusat pertokoan tidak beroperasi. Pun jika ada yang buka, larangan untuk keluar rumah jadi hambatan. Tidak heran jika transaksi online shopping melonjak pesat selama pandemi.

Riset Analytic Data Advertising (ADA) mencatat terjadi perubahan signifikan dalam kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia. Kirill Mankovski, Managing Director ADA Indonesia, mengatakan penggunaan aplikasi belanja online melonjak selama beberapa bulan terakhir. Kenaikan paling tinggi terjadi pada 21-22 Maret dengan persentase kenaikan sebesar 400%.

Barang-barang yang paling dicari orang Indonesia selama pandemi di situs belanja online sangat beragam. Ini mulai dari kebutuhan sehari seperti makanan kaleng, daging, sirup, sabun cuci tangan sampai jamu dan konsol game. Masa pandemi cenderung membuat orang senang menimbun barang konsumsi. Tak heran jika transaksi makanan kaleng cukup tinggi.

Barang-barang penunjang kesehatan seperti masker, sabun cuci tangan, dan hand sanitizer juga laris manis. Jika di awal pandemi barang-barang semacam itu menjadi langka dan dibanderol setinggi langit, kini masyarakat bisa mendapatkannya dengan harga yang jauh lebih terjangkau.  Permintaan sabun cuci tangan dan hand sanitizer misalnya, meningkat 20 kali lipat daripada biasanya.

Musuh utama isolasi mandiri adalah kebosanan. Maka tak heran jika pembelian belanja online kini juga menyasar barang-barang yang sifatnya hobi. Penjualan konsol game pun membludak. Bermain game membantu mengatasi rasa bosan dan stres selama pandemi.

Impulsive buying

Berbelanja online memang sangat membantu kebutuhan selama pandemi. Namun jika berlebihan bisa membuat kita menjadi impulsive buying. Ini adalah suatu kondisi ketika seseorang berbelanja tanpa adanya perencanaan. Akibatnya, kita cenderung boros dan mengeluarkan uang untuk barang-barang yang sejatinya tidak terlalu diperlukan.

Ketika pandemi melanda, banyak dari kita yang tanpa sadar membeli apapun yang bisa menangkal virus. Jahe misalnya. Meskipun sangat bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan tubuh, memborong jahe secara berlebihan tentu bukan langkah yang bijak.

Peneliti Psikologi Akbar Amada Putra dari UIN Sunan Kalijaga menjelaskan sebagian besar melakukan impulse buying di situs online, awalnya hanya sekedar rekreasi atau melihat-lihat. Dalam penelitiannya terhadap aktivitas impulse buying online di forum Kaskus, ia menemukan beberapa alasan mengapa orang melakukan hal tersebut.

Pertama, barang yang ditawarkan jarang didapatkan di toko-toko konvensional. Kedua, praktis sebab bisa dilakukan di rumah. Ketiga, karena ingin mencoba barang-barang baru atau belum pernah mereka pakai. “Biasanya perempuan suka mencoba kosmetik dan alat kecantikan lainnya,” tulisnya dalam penelitian tersebut. Sebagian besar barang yang dibeli merupakan kebutuhan tersier. Beberapa responden bahkan menyebut 90% barang yang dibeli saat impulse buying itu tidak terlalu penting.

Menariknya, impulsive buying berkaitan erat dengan kecerdasan emosional. Daniel Goleman, penulis dan pakar perubahan perilaku, mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kapasitas untuk mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain. Ada aspek yang melingkupi kecerdasan emosional; kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.

Penelitian yang dilakukan Akbar terhadap responden di Yogyakarta menunjukkan semakin tinggi kecerdasan emosional seseorang, semakin rendah kecenderungan impulsive buying. Mood yang buruk juga membuat orang cenderung impulse buying. Ini terjadi karena orang tersebut tidak memiliki kecerdasan emosional yang baik sehingga tidak bisa menghibur dirinya sendiri.

Belanja online memang membantu selama pandemi. Namun jika tidak dikontrol, tidak menutup kemungkinan aktivitas ini justru akan membuat keuangan kita jebol.

 tulisan ini telah tayang di haluan.co

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال