Pandemi COVID-19 berdampak serius terhadap aspek-aspek kehidupan masyarakat, mulai dari sosial, budaya, politik, agama hingga ekonomi. COVID-19 menghantam seluruh perekonomian di Indonesia. Pendapatan anjlok, PHK di mana-mana, membuat masyarakat menjadi tidak berdaya dan mengharapkan bantuan dari pemerintah.
Mengingat masyarakat sangat membutuhkan bantuan
uang ketika pandemi, anggota DPR-RI meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk
mencetak uang saja. Tak tanggung-tanggung, jumlah uang yang diminta yaitu
sebesar 600 trilliun. Uang tersebut bisa membantu masyarakat dalam bentuk
bantuan Langsung Tunai (BLT).
Cara tersebut memang terkesan sederhana dan
praktis. Negara hanya perlu mencetak uang dan permasalahan ekonomi selama
pandemi teratasi, namun logikanya tidak sesederhana itu. Banyak masalah yang
ditimbulkan jika kita mencetak uang tanpa adanya pertimbangan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan kepada pimpinan media massa secara virtual bahwa
mencetak uang memang bisa saja dilakukan oleh pemerintah. Tapi jika
perhitungannya tidak tepat ancaman terjadinya inflasi akan mengancam Indonesia.
Sri Mulyani menambahkan bahwa kita harus melihat
dengan cermat. Tidak hanya uang saja yang menyebabkan ekonomi terhenti.
Seberapa banyak uang yang akan dicetak harus dipertimbangkan agar tidak
berbalik menjadi inflasi.
Amerika Serikat memang telah melakukan kebijakan
menggenjrot percetakan uang sendiri. namun, resiko inflasi yang megancam sangat
kecil dan hampir tidak ada. Hal ini disebabkan oleh mata uang dollar dipegang
oleh seluruh dunia.
Chatib Basri, ekonom dan mantan Menteri Keuangan,
berpendapat bahwa ada resiko Bank Indonesia (BI) melakukan
percetakan uang secara berlebihan. Ia berpendapat jika mata uang rupiah dicetak
tapi hanya di gunakan oleh masyarakat lokal saja dan aktivitas ekonomi yang
tidak berjalan. Resiko inflasi akan naik besar dikarenakan oleh supply uang
banyak tetapi tidak ada produksi.
Inflasi merupakan kondisi perekonomian dimana
jumlah uang yang beredar lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Ini sesuai
dengan hukum supply-demand. Jika persediaan uang bertambah tetapi
permintaan tidak mengalami kenaikan maka harga uang akan turun atau inflasi.
Bank Indonesia sendiri menolak untuk melakukan percetakan uang sebesar 600
triliun. Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan bahwa BI tidak akan melakukan praktik kebijakan
moneter. BI sudah mempunyai proses pengedaran uang yang sesuai dengan
Undang-Undang mata uang, yaitu dari perencanaan, percetakan, pemusnahan uang
yang selalu dikoordinasikan dengan Kementrian Keuangan, jadi tidak bisa asal
cetak uang saja.
Apa yang terjadi jika negara mencetak banyak uang
Jika uang suatu negara dicetak terlalu banyak
yaitu inflasi yang tinggi, nilai tukar
anjlok, dan utang di luar negeri membengkak. Sebenarnya RI pernah kebanyakan mencetak uang yaitu pada
periode tahun 1957-1965 pada masa demokrasi terpimpin. Uang tersebut digunakan
untuk kebutuhan belanja negara yang besar karna ada prioritas politik yang
digunakan operasi keamanan. Pada saat itupun Bank indonesia harus mendukung
kegiatan pemerintah dalam mencetak uang.
Karena kebutuhan belanja yang besar jadi
pemerintah memutuskan meminjam dari bank Indonesia, kemudian dipenuhi dengan
cara mencetak uang. Ternyata mencetak uang
membuat kondisi keuangan Indonesia semakin memburuk. Inflasi yang sangat
tinggi hingga akhirnya Indonesia mengalami hiperinflasi.
Hiperinflasi di Indonesia
terjadi pada tahun 1963-1965. Ini terjadi pada masa Orde Lama. Penyebab
hiperinflasi adalah ambisi dari Presiden Soekarno dalam proyek mercusuar.
Akibatnya perekonomian jatuh bebas karenanya, pengurangan sumber pajak, dan
aset keuangan berubah menjadi aset real.
Kita tentu tidak ingin
Indonesia mengalami hiperinflasi lagi.
Hiperinflasi sangat berbahaya bagi negara yang sedang
mengalami pandemi. Ada beberapa
negara yang pernah mengalami hiperinflasi yaitu Yunani, Jerman, Hungaria dan
zimbabwe. Zimbabwe merupakan contoh nyata betapa mengerikannya hiperinflasi
bagi suatu negara. Akibat dari inflasi yang tinggi, Zimbabwe harus
menyederhanakan mata uangnya yaitu 10 miliar dollar menjadi 1 dollar, atau
dengan menghilangkan 10 buah angka nol.
Mata uang Negara Zimbabwe bisa dibilang tidak
bernilai untuk membeli kurs asing. Tidak hanya Zimbabwe, Hungaria
menempati posisi pertama inflasi bulanan tertinggi yaitu sebesar
13.600.000.000.000.000%. harga naik dua kali lipat setiap 15,6 jam. Ini
merupakan kasus hiperinflansi terburuk yang terjadi di Hungaria pada awal tahun
1946. Penyebabnya yaitu Perang Dunia II.
Dilihat dari akibat yang ditimbulkannya lebih
besar, pemerintah tidak bisa dengan mudah menerapkan kebijakan mencetak uang
sebagai jalan keluar dari permasalahan ekonomi. Mencetak uang tanpa adanya
perhitungan justru menjadi bumerang bagi perekonomian Indonesia. Inflasi bahkan
yang lebih menakutkan hiperinflasi bisa saja menanti jika Indonesia banyak
mencetak uang. Jangan sampai Indonesia kembali mengalami hiperinflasi seperti
pada masa demokrasi terpimpin.