Bukan Sekadar Fans K-Pop

Illustrasi: Herra Frimawati



K-Popers menjadi perhatian global saat turun ambil peran menghadang rasisme yang terjadi di Amerika Serikat. Mereka berupaya melawan supremasi kulit putih yang ingin menenggelamkan tagar #BlackLivesMatter.

Mungkin sebagian kita mengenal K-Poper itu hanyalah fans setia idol asal Korea Selatan. Anggapan ini agak keliru. K-Poper lebih dari itu. Basis penggemarnya punya pengaruh besar dalam media sosial. Ini terekam jelas mereka ambil bagian dalam perebutan narasi di media sosial ketika Amerika mengalami protes massal.

Kasus meninggalnya George Floyd, seorang warga kulit hitam Amerika akibat tindakan brutal polisi, masih menyisakan kemarahan masyarakat global. Tak semua orang bersepakat, setidaknya dari pergerakan tagar di sosmed. Masih ada kelompok yang menentang gerakan #blacklivesmatter yang dianggap biang rusuh, lantas menciptakan tagar tandingan #whiteoutwednesday atau #bluelivesmatter.

Untungnya upaya rasis itu berhasil digagalkan, lewat peran penggemar idol grup Korea. K-Poper menjadikan tagar #whiteoutwednesday dan #bluelivesmatter sebagai lelucon. Alih-alih berisi dukungan untuk Trump atau gerakan rasis, para fans K-Pop ini membanjiri tagar tersebut dengan meme dan foto idolanya. Mereka misalnya, menggunakan video rekaman idolanya ketika manggung atau biasa disebut fancam.

Aksi penggemar K-Pop tersebut menarik perhatian media-media internasional seperti NBC News, Rolling Stone dan masih banyak lagi.

Ketika Kepolisian di Dallas meminta warga untuk mengirim video unjuk rasa, K-Poper mengecohnya. Mereka memenuhi lini massa dengan fancam, alih-alih bukti aktivitas unjuk rasa seperti yang diminta aparat.




Menghadapi Stigma

K-Poper seringkali di salah pahami. Mereka dianggap sosok yang beringas karena sikap fanatiknya yang luar biasa kepada idola. Soal nonton konser dan mengoleksi barang-barang tertentu sudah jadi hal biasa. Mereka bisa sangat terobsesi hingga sampai mencari tahu keseharian idolanya. Fans macam ini biasa disebut saesang. Dalam banyak kasus, tak jarang penggemar sampai menguntit bahkan meneror idolanya. Tidak jarang pula sesama fandom K-poper yang berbeda justru saling bermusuhan.

Penggemar semacam ini sejatinya ada di semua genre musik. David Chapman misalnya, mulanya merupakan  penggemar The Beatles sebelum menghabisi John Lennon pada 1981.

Secara industri, Kpop memang menawarkan hal yang menarik. Genre musiknya beragam dan enak didengarkan. Kemolekan fisik dan segudang bakat menjadi nilai jual di industri K-Pop. Girlband dan boyband asal Korea kini punya penggemar di seantero penjuru dunia.

Elsa Nana Rulando (23) sudah mengidolai musik Korea sejak SMP, sekira 10 tahun silam. Kala itu, ia tertarik pada Shinee dan SuperJunior. Awalnya, wanita yang akrab disapa Nana ini, hanya mencoba-coba mendengarkan musik K-Pop, tetapi lama-kelamaan menjadi sangat tertarik dan mencari tahu lebih dalam. Saat ini Nana menjadi fan EXO dan NCT.

“Pertama kali nonton Kpop di salah satu stasiun televisi pada tahun 2010, kalau enggak salah. Terus cari tahu lagunya dan akhirnya suka sama lagu lagu Korea”, ujarnya (6/5/2020).

Sebagai fans EXO dan NCT, ia sangat mengidolakan Sehun dan Renjun. Kecintaannya terhadap boyband asuhan SM Entertainment ini, membuat Nana mengoleksi berbagai macam aksesori; mulai dari poster, stiker, albu, dan lain sebagainya. Nana juga tergabung dalam fandom NCTzen dan EXO-L.

Seminggu ini Nana berusaha menyimak segala perkembangan terbaru tentang K-Pop di media sosial. Ia mengaku sangat senang dengan kabar bahwa fandom K-Pop bekerja sama melawan rasisme yang terjadi di Amerika Serikat. Ia bangga karena mampu membuktikan jika fandom K-Pop tidak menutup mata terhadap keadaan di dunia nyata. Kadang orang memandang K-Poper cenderung egois karena hanya memperdulikan kepada idola yang disukainya. Padahal  sebenarnya tidak demikian.

Nana menceritakan NCTzen (fandom NCT) juga sepakat agar tidak akan mempublish secara berlebihan tagar kemenangan dari NCT. Ini dilakukan agar tidak menutupi kasus rasisme di Amerika. Inisiatif ini membuktikan bahwa fans idol grup Korea juga peduli dengan isu sosial yang ada.  Mereka peduli dan ikut berpartisipasi dengan permasalahan sosial yang terjadi di dunia.

Inisiatif serupa juga datang dari Blink, nama fandom girlband Blackpink. Kolaborasi Blackpink dengan penyanyi Lady Gaga seharusnya menjadi perbincangan hangat di dunia maya. Namun mereka sepakat mengerem publikasi agar tidak menutupi kasus pembunuhan George Floyd.

Banyak juga fandom lain yang berlomba memberi bantuan untuk mereka yang membutuhkan. Seperti saat terjadi kebakaran di Australia Juli lalu. Fandom K-pop berlomba-lomba untuk membantu masyarakat yang terdampak. Dalam waktu 3 hari Army Australia (fandom boyband BTS)  berhasil mengumpulkan dana sebesar US$12.000 untuk lembaga pemadam kebakaran dan relawan.



Muhammad Sofyan (28), social media manager sekaligus sebagai pendiri Dizkorea menanggapi fans musik dan kepeduliannya terhadap isu sosial. Menurutnya fans musik Korea kerap dianggap remeh padahal mereka sangat sadar akan sekitarnya.

“K-poper memang unstoppable. Orang lain bisa memandang kpopers sebagai suatu komunitas yang kadang terlihat mengganggu. Tetapi jangan pernah sepelekan sekumpulan kpopers. Saya bersama @dizkorea pernah berhasil mengumpulkan Rp9 jutah dalam beberapa jam untuk menyumbang penanganan Covid-19. Mereka selalu punya cara untuk mengangkat suatu isu”, ujarnya (6/6/2020).

Stigma terhadap K-Poper muncul karena banyak orang tidak memahami bagaimana kontribusi Kpoper untuk idola mereka. Padahal, menurut Sofyan mereka juga sadar akan isu-isu sosial.

“Kpopers itu banyak banget, kadang orang-orang enggak paham gimana mereka berkontribusi untuk idol mereka. Sesederhana sharing fancam supaya views-nya terus bertambah. Kadang annoying sih kalo misalnya lagi ada kabar duka suka ada satu dua yang nyelip reply twit pakai fancam. Tapi di luar itu selama masih wajar saya enggak masalah dengan fenomena fancam ini,” katanya.

Secara organisasi, K-Poper juga sangat solid. Meskipun sangat cair, jumlah mereka sangat masif dan terkoordinir dengan baik. Inilah sebabnya K-Poper sensitif dengan isu-isu sosial. Peran idola juga sangat penting bagi Kpoper dalam mempelajari isu-isu sosial yang ada. Banyak idola mereka yang ikut berpartisipasi menyuarakan kasus #Blacklivesmatter. Ini misalnya Jay Park, Jae Day6, Crush, Mark Got7, Yeri Red Velvet, Momoland, BTOB, Jongup B.A.P, NCT dan masih banyak lagi.

Tiavita Herdiana (30) juga adalah seorang fans musik dan budaya populer Korea. Vita yang bekerja sebagai UX Designer di Jakarta ini tergabung dalam NCTzen. Ia bercerita banyak fans Kpop yang memulai inisiatif untuk berkontribusi terhadap kehidupan sosial. Paling sering misalnya penggalangan dana melalui kegiatan amal atau penjualan  merchandise. 

Pandangan negatif terhadap Kpop menurutnya muncul dari bias pendapat. Padahal jumlah fans K-Pop sudah sangat masif di Indonesia. Tidak sedikit brand ternama yang menggunakan publik figur Kpop sebagai ambassador.



“Dengan semakin dikenalnya Kpop di Indonesia, enggak menutup kemungkinan muncul kontroversi yang disebabkan oleh artisnya itu sendiri ataupun fans-nya. Apalagi kalo di social media tuh, gampang banget ngedeteksi blunder dari fans Kpop. Gara-gara satu hal kecil, bisa banget ngerusak citra Kpop di publik”, ungkapnya (7/6/2020).

“Hal ini susah untuk dibendung, karena di internal kpoper aja kadang masih ada kaderisasi jika setiap fandom memiliki musuh fandom tertentu. Intinya ada satu kultur “my oppa it's better than your oppa”. Ia menambahkan

Vita bersyukur kini penggemar dan artisnya sudah lebih melek isu-isu sosial. Ini sepatutnya membuka mata kita kalau Kpop juga punya kontribusi besar di kehidupan nyata.

 

tulisan ini telah tayang di haluan.co

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال