Russ Medlin seorang buronan FBI asal Amerika Serikat ditangkap di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia menambah daftar panjang buronan Interpol yang bersembunyi di Tanah Air.
Russ Medlin ditangkap di rumahnya pada 15 Juni 2020. Ini bermula dari
laporan masyarakat terkait anak-anak perempuan yang sering hilir mudik ke
rumahnya. Pria asal Amerika Serikat itu menyewa jasa anak-anak di bawah umur
untuk memuaskan nafsu birahinya. Medlin dijerat dengan pasal 76 D Juncto Pasal
81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan pidana
paling lama 15 tahun.
Belakangan, Medlin rupanya bukan sekadar ekspatriat biasa. Ia sudah
jadi buronan FBI sejak 2016 setelah terjerat kasus penipuan investasi. sebesar
US$722 juta atau Rp10,2 triliun. Namanya juga tercatat dalam Red Notice
Interpol Pool. Ini semacam database yang digunakan oleh Interpol untuk
menangkap pelaku kejahatan di luar negeri.
Lantas mengapa orang dengan Red Notice seperti Russ Medlin bisa masuk
ke Indonesia? Ia diketahui sudah berada di Indonesia sejak 2019 dengan
menggunakan visa turis. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya,
Komisaris Besar Polisi Yusri Yunus mengatakan Melin punya dokumen yang lengkap
sehingga bisa masuk ke Indonesia tanpa terdeteksi. Terkait dengan status
tersangka, Yusri mengaku belum bisa memastikan mengapa Medlin bisa lolos di
imigrasi.
Russ Medlin bukan buronan pertama FBI yang lari ke Indonesia. Pada
2007, warga Sri Lanka bernama Pratheepan Thavarajah ditangkap di Bandara Soekarno Hatta. Ia
merupakan salah seorang pentolan Macan Tamil, organisasi milisi di Sri Lanka,
yang bertanggungjawab atas penjualan senjata. Oleh pihak AS, Macan Tamil
dimasukkan dalam daftar organisasi terorisme.
Pada 20 Agustus 2006, Interpol Washington mengeluarkan Red Notice
untuk melacak keberadaan Pratheepan. Interpol Indonesia merespons permintaan
itu dengan berkoordinasi dengan pihak imigrasi. Hasilnya, Pratheepan berhasil
ditangkap pada 4 Januari 2020.
Pengusaha Malaysia Low Tek Jho atau Jho Low juga masuk kedalam daftar
buronan FBI. Ia terlibat skandal 1Malaysia Development Berhad, yang
menggelapkan dana perusahaan. Ia disebut sebagai orang ketiga yang disebut
berperan sentral dalam kasus ini.
Sampai saat ini Jho Low masih jadi buron. Ia diklaim sempat terlihat
di Wuhan, China meskipun belum bisa dipastikan kebenarannya. Menariknya, kapal
mewah miliknya berhasil ditemukan di Bali. Atas permintaan FBI, Kepolisian pun
mengamankan yacht itu pada 28 Februari 2018.
Mengapa beberapa buronan FBI memilih Indonesia sebagai tempat
persembunyian? Ditreskrimsus Polda Metro jaya Kombes Pol Roma Hutajulu
memastikan tidak ada keterlibatan orang imigrasi dalam pelarian Russ Albert
Medlin.
Dosen Hubungan Internasional di Universitas Padang Bima Jon Nanda
mengungkapkan Red Notice adalah sistem yang bersifat voluntary sehingga ada
kemungkinan buronan tetap bisa lolos.
“Interpol bukan organisasi kepolisian, tetapi lebih kepada mekanisme
kerjasama polisi di seluruh dunia. Jadi
saat Interpol memberikan Red Notice, itu balik lagi kepada negara yang menerima
Red Notice tersebut apakah mereka mau mencari orang tersebut,” ujarnya kepada
Haluan.co.
Persoalan lainnya adalah ketiadaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia
dan Amerika. Artinya, kedua negara tidak punya kewajiban untuk mengekstradisi
buronan yang tertangkap baik dari Indonesia ke Amerika maupun sebaliknya.
Kendati demikian, Bima menjelaskan pemerintah bisa mengekstradisi pelaku
kejahatan dengan mengacu pada hukum nasional.
Buronan Interpol biasanya akan memilih negara-negara yang tidak punya
perjanjian ekstradisi dengan negara asalnya. Negara-negara Asia biasanya
menjadi tujuan utama sebab penegakkan hukum di kawasan ini umumnya masih
rendah.
Selain kebijakan ekstradisi, faktor biaya hidup juga jadi pertimbangan
buronan. “Mereka cukup nyaman lari kesini. Fasilitasnya oke, Indonesia termasuk
negara yang berkembang, dan konversi mata uangnya juga sangat tinggi. Mungkin
itu alasan beberapa buronan menjadikan negara Indonesia sebagai tempat
persembunyiannya,” Bima menambahkan.
Dalam beberapa kasus, Indonesia juga sempat meminta bantuan Interpol
untuk melacak tersangka kasus korupsi Wisma Atlet Muhammad Nazarudin. Politisi
Partai Demokrat itu akhirnya tertangkap di Argentina.
“Tidak adanya hukum ekstradisi antara Indonesia dengan beberapa negara juga banyak dimanfaatkan oleh para pelaku koruptor. Misalnya mereka lari ke Singapura karena tidak ada perjanjian ekstradisi dengan negara itu,” Bima melanjutkan.
Tulisan ini sudah terbit di Haluan.co