Menikah
bagi sebagian orang adalah kewajiban. Mungkin itulah yang dipikirkan oleh
Rabiatun atau sering dipanggil Atun yang waktu itu sudah memasuki umur 24
tahun. Atun diperkenalkan oleh ibunya dengan seorang pemuda seumuran dengannya
yang bernama Nuram. Nuram adalah teman masa kecilnya. Ibunya sangat ingin Atun
menikah dengan Nuram. Nuram pekerja keras dan sangat sayang kepada ibunya, lelaki
yang sangat sayang kepada ibunya pasti juga akan sangat menyayangimu sebagai
istrinya, setidaknya itulah yang menjadi pertimbangan ibu Atun untuk
menjodohkannya dengan Nuram.
Atun
waktu itu tidak dapat melanjutkan sekolahnya, ia hanya tamatan SMA. Ia bekerja
membantu ibunya di ladang. Ada keinginan hati untuk merantau dan melanjutkan
cita-citaya menjadi apoteker, tetapi ibunya melarang karena ia adalah anak
perempuan satu-satunya. Karena umurnya
sudah 24 tahun Atun menerima permintaan ibunya untuk menikah dengan Nuram.
Setahun
setelah pernikahan, Atun melahirkan anak pertamanya berjenis kelamin laki-laki
yang diberi nama Bintang. Atun sangat bahagia dengan keluarga kecilnya, ia
sangat menyayangi Bintang dan sangat menyayangi suaminya. Dua tahun setelah
kelahiran Bintang, Atun melahirkan lagi anak keduanya yang berjenis kelamin perempuan
yang diberi nama Susi.
Ekonomi
keluarga kecil Atun bisa dibilang kurang. Suami Atun bekerja sebagai tukang
bangunan bersama ayahnya. Setiap hari
Nuram pergi ke bekerja dengan ayahnya namun uang yang didapatkannya tidak
seberapa. Kadang-kadang juga setelah bekerja seharian Nuram tidak membawa uang
sedikitpun. Sebenarnya sehabis bekerja Nuram selalu mendapatkan uang gajinya,
tetapi Nuram memberikan semua uangnya kepada ibu dan ayahnya serta saudara-
saudaranya yang masih sekolah. Atun hanya dapat memaklumi hal itu, untuk biaya
makan terkadang Atun dapatkan dari hasil berladangnya, dan terkadang Atun juga
mendapatkan bantuan dari sanak saudaranya.
Tahun
demi tahun berlalu Bintang sudah kelas 4 SD dan Susi kelas 2. Mereka berdua adalah
murit yang berprestasi, mereka berdua tidak pernah turun dari rangking pertama
di kelasnya. Atun dan Nuram sangat bahagia dengan pertasi kedua anaknya. kedua
anak Atun juga sering mendapatkan beasiswa sehingga Atun dan suami tidak cemas
memikirkan biaya sekolahnya. Atun dan Nuram semakin rajin bekerja agar mampu
melanjutkan pendidikan anaknya sampai ke Perguruan Tinggi.
Ketika
Bintang masuk Sekolah Menengah Pertama, sangat senang hati Atun, tetapi ia
membutuhkan uang sekolah bisa dibilang besar baginya. Bintang tidak mendapatkan
beasiswa lagi seperti Sekolah Dasar. Atun yang hanya bekerja di ladang dan
suaminya yag bekerja sebagai tukang tidak mampu membiayai sekolah anaknya
tersebut mencoba meminta bantuan kepada sanak saudaranya. Untung ada sanak dari
Atun yang mau membiayai uang masuk SMP Bintang. Atun rela manahan malunya
dihina sanak saudaranya yang tidak mampu menyekolahkan anaknya. sanak saudara
Atun kebanyakan adalah orang sukses, ada yang bekerja di Rumah sakit, Dinas
Pendidikan dan ada yang bekerja sebagai Dosen. Di saat Atun sibuk mencari
pinjaman, Narum tidak melakukan apa-apa. Dia lebih mementingkan harga dirinya
dibandingkan mencari bantuan untuk biaya sekolah Bintang anaknya.
Bisa
dikatakan selama ini biaya makan keluarganya dia dapatkan dari hasil
keringatnya sendiri. Nuram sangat jarang memberikan uang padanya, jika ada itu
hanya sekali seminggu dan uangnyapun hanya cukup untuk makan keluarganya satu
hari saja. Nuram sangat jarang di rumah, paling ketika jam makan dan tidur saja,
selebihnya dia di luar rumah untuk bekerja, tetapi tetap saja Narum jarang
memberi uang belanja kepada dirinya. Uangnya kebanyakan dihabiskan untuk ayah,
ibu serta saudara-saudaranya. Atun sudah mulai kesal dengan kelakuan suaminya,
awalnya dia memaklumi suaminya, ia sadar suaminya bahwa memiliki banyak adik.
Setiap Atun meminta uang kepadanya, pasti alasannya adalah dia tidak
mendapatkan upah dari kerjanya hari ini, padahal Atun sendiri tau kalau uang
itu diberikan kepada ibu dan ayah Narum, mertua Atun.
Setelah
bertahun-tahun menahan, Atun mulai berbicara dengan suaminya mengenai
ketidaksukaannya kepada Nuram yang hanya memberi uang kepada ayah, ibu serta
saudara-saudaranya ketimbang memberikan uangnya kepada dirinya untuk kebutuhan
keluarga dan sekolah kedua anak-anaknya. bukannya sadar, Narum malah marah dan
tersinggung dengan perkataan Atun. Narum
menendang pintu dengan keras dan berkata-kata kasar sehingga kedua anaknya yang
sedang bermain di pekarangan rumah terkejut.
Dua
tahun berikutnya, Susi juga masuk SMP, Atun bingung dengan biaya Sekolahnya. Ia
berusaha mencari pinjaman lagi kepada sanak saudaranya lagi, beruntung kali ini
ia menerima bantuan dari abangnya yang sudah sukses.Atun mencoba menguji
suaminya tersebut apakah ia mau mencarikan uang untuk sekolah Susi, tapi Nuram
hanya berkata tidak punya uang, padahal Atun tau dua hari yang lalu Narum ketahuan
telah membelikan dua adik perempuannya handphone. Atun sangat kecewa dengan
suaminya tersebut, untuk makan anak-anaknya Narum tidak punya uang tapi untuk
membelikan adik-adiknya Handphone baru Narum sanggup.
Atun
hanya bisa bersabar dengan kelakuan sang suami. Pernah terbesit untuk berpisah
dengan suaminya, tetapi ia kasihan dengan anak-anaknya, ia takut perkembangan
anaknya akan terganggu. Atun juga pernah meminta cerai kepada suaminya, tetapi
suaminya menangis, Narum bilang sangat menyayangi Atun dan berjanji akan
menjadi lebih baik lagi sehingga membuat hatinya luluh. Namu perangai Narum
hanya berubah sebentar lalu diualagi lagi.
“Bintang
sudah kelas sembilan ya Tun?” tanya Bang Gitok, abangnya Atun. Gitok adalah
saudara Atun yang sukses. Gitok bekerja di sebagai Dosen di sebuah Universitas.
Gitok sering membantu Atun dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
“iya bang sebentar lagi mau masuk SMA”, jawab Atun dengan pelan. “Suamimu
bagaimana? Apakah sudah menafkahimu? Tanya bang Gitok lagi. Bang Gitok tidak
suka dengan Narum yang tidak bertanggung jawab kepada istri dan anak-anaknya.
Gitok tidak suka jika adik semata wayangnya harus menjadi tulang punggung
keluarga, sedangkan suaminya jarang menafkahinya dan hanya memikirkan orang
tuanya serta saudara-saudaranya.
“Sudahlah
Tun, sudah berapa kali abang katakan ceraikan saja lah suamimu itu, apa yang
bisa suamimu berikan untukmu? Dia itu belum dewasa, dia hanya mementingkan
keluarganya dibandingkan istri dan anak-anaknya. Aku bicara seperti ini, karena
aku kasihan melihatmu banting tulang untuk keluargamu sendiri”.kata bang Gitok.
“kasihan
Bintang dan Susi bang, mereka butuh kasih sayang bapaknya”. Selalu itu yang
dijawab Atun ketika abangnya memintanya untuk menceraikan suaminya tersebut.
“tapi dia itu tidak bertanggungjawab Tun, anaknya saja dia telantarkan”, jawab
bang Gitok lagi. Bang Gitok sangat menyayangi adiknya tersebut, ia sering
membantu Atun ketika adiknya butuh bantuan, membantu membiayai pendidikan kedua
keponakannya. Sebelum pulang Bang Gitok menyelipkan beberapa lembar uang
ratusan ribu kepada Atun dan jajan untuk kedua anaknya.
Jam
hampir menunjukkan pukul sepuluh malam, Nuram pulang ke rumah. “mas mau makan”.
“iya dek, mas lapar, tadi kerja sibuk sekali jadi lupa makan. Eh tumben
sambelnya sekarang ayam?, gitu dong dek, sesekali tu kita harus ganti menu,
masa iya tempe terus.” Perkataan Nuram sedikit membuat hati Atun kesal, masih
bisa mengomel tentang menu masakan sedangkan suaminya itu jarang memberikan
uang belanja.
“Tadi
siang bang Gitok ke rumah, jadi dikasih uang untuk belanja mas”. Jawab Atun
dengan nada yang kesal. Mendengar istrinya diberi uang oleh abangnya Nuram
kesal. Nuram tau kalau Bang Gitok itu tidak suka dengannya. Ia juga tidak mau
keluarganya dikasihani seperti ini. “Mulai besok jangan terima lagi pemberian
dari abangmu itu, aku masih mampu untuk menghidupi keluarga kita!”. Kata Nuram
tegas sembari menyelesaikan makannya dan menuju kamar. Perkataan Nuram tadi
menyulut emosi Atun, ia lantas mengikuti Nuram ke kamar. “Mas tidak bisa
melarag Atun menerima pemberian Bang Gitok, mas saja jarang menafkahi Atun dan
anak-anak, mas selalu mendahulukan ibumu, ayahmu, dan adik-adikmu. Adikmu minta
dibelikan Hp saja, mas mampu, untuk biaya sekolah Susi aku mati-matian mencari pinjaman”.
“Memang
kenapa jika aku membelikan adikku Hp, memberi uangku pada ibu dan ayahku, aku
kan tetap memberi nafkah padamu”. Teriak Nuram dengan sangat keras sehingga
membuat Bintang dan Susi terbangun dari kamarnya. “Mas boleh memberi adik-adik
mas tapi tolong mas dahulukan kebutuhan keluarga kita, anak kita Bintang
sebentar lagi mau masuk SMA, Atun tidak tau harus mencari uang darimana,
sedangkan mas tidak pernah memikirkan anak-anak kita. Mas Cuma tau anak kita
berprestasi dan dibangga-banggakan kepada orang-orang, tetapi untuk memenuhi
kebutuhannya mas tidak pernah tau, Mas janji akan berubah, tapi tetap saja aku
yang menafkahi keluarga kita.” Kata Atun penuh emosi sehingga air matanya
sedikit menetes.
“Plak”,
sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Atun. “sudah kurang ajar ya kamu
sekarang Tun, kau istriku tapi kau berani merendahkanku, maumu sekarang apa?”. “Cerai
mas, aku mau berpisah denganmu, aku sudah tidak tahan lagi dengan kelakuanmu”.
Jawabku dengan tegas. Terdengar oleh Atun Bintang dan Susi menangis di kamarnya.
Atun tidak bisa apa-apa lagi. “Baiklah kalau itu maumu, besok akan kuurus surat
cerai kita”. Nuram keluar dari kamar lalu mencari kunci motornya dan pergi
entah kemana.
Paginya
seperti biasa Atun membangunkan anak-anaknya untuk pergi sekolah. Tidak seperti
biasanya Bintang dan Susi terlihat lebih murung. Atun tau pasti karena
pertengkarannya tadi malam membuat anak-anaknya takut. Atun memeluk kedua
anaknya dan mengatakan semua akan baik-baik saja. Setelah kedua anaknya pergi
sekolah, Atun bersiap pergi ke ladang, ketika sedang bekerja sesekali air
matanya menetes mengingat kejadian tadi malam. Keputusannya sudah bulat, dia
dan Nurman akan bercerai. Atun tidak mau makan hati lagi, dia hanya perlu
berusaha keras untuk membesarkan kedua anaknya.
Sepulang
dari ladang, Atun melihat Nurman duduk di kursi di teras rumah. Setelah melihat
Atun pulang bekerja, Nurman langsung menghampiri Atun dengan wajah
penyesalannya dia meminta maaf kepada Atun. Nurman meminta agar dirinya tidak
jadi bercerai, kasihan anak-anak kita yang masih kecil yang masih membutuhkan
ibu dan ayah. Namun kali ini Atun tidak luluh, dia tetap dengan pendiriannya
untuk berpisah dengan suami yang telah bersamanya selama 17 tahun. Nurman
menangis terisak-isak agar Atun membatalkan perceraiannya, namun nasi sudah
menjadi bubur. 17 tahun menjadi tulang punggung keluarga membuat Atun tidak
takut lagi untuk berpisah dengan suaminya. Ia sudah mandiri, ia sudah sangat
kecewa dengan suaminya tersebut.
Atun
pergi meninggalkan suaminya yang menangis terisak-isak di teras rumah. Ia juga
menangis di kamar. Atun berharap keputusannya saat ini adalah tepat. Ia akan
menjelaskan sejelas-jelasnya kepada kedua anaknya kalau dia dan suaminya akan
berpisah rumah. Mungkin di awal akan terasa berat bagi anak-anaknya tapi Atun
akan tetap bersabar. Ia akan berjuang untuk membesarkan kedua anaknya sendiri
sampai ke jenjang perkuliahan.
Agam,04/12/2019
07:29
AM
Fina
Hari Syaifer